B. Kerajinan
Kain Bordir Desa Telagasari, Kecamatan Kawalu,
Kota Tasikmalaya
1. Sejarah : Kerajinan kain bordir adalah usaha turun-temurun dari
masyarakat Tasikmalaya, yang sudah ada sejak Jaman Belanda.
Salah satu sentra pengusaha kain bordir di Kota Tasikmalaya
adalah Desa Telagasari, Kecamatan Kawalu. Di desa ini terdapat
banyak pengusaha kain bordir berskala besar, seperti: Turatex,
Purnama, Ciwulan, Haryati, Bunga Tanjung, dan lain-lain. Seperti
desa-desa lainnya, usaha kerajinan kain bordir sudah berlangsung
turun-temurun sejak jaman Belanda. Alat
untuk membordir ketika itu
masih bersifat manual, yang disebut dengan bordir gejek. Pada
tahun 1960-an jenis bordir yang dihasilkan adalah kebaya dan
pakaian tradisional Cina karena pemesannya kebanyakan dari
kalangan etnis Tionghoa. Pada tahun 1970-an jenis kain bordir
merambah ke jenis kain untuk ruangan (home interior), seperti:
sprei, taplak meja, korden, dan lain-lain, terutama setelah
menggunakan mesin bordir bertenaga listrik. Pada tahun 1980-an
dominasi jenis kain bordir mulai bergeser ke pakaian-pakaian
muslim, seperti: mukena, rukuh, baju koko, jilbab, dan lain-lain.
Para pengusaha pada umumnya mempekerjakan karyawan
lepas, yaitu mereka hanya datang ke perusahaan untuk mengambil
bahan kain dan menyerahkan kembali setelah selesai dibordir.
Pekerjaan membordir mereka lakukan di rumah masing-masing.
Pihak pengusaha hanya meminjamkan mesin bordir. Para perajin
kain bordir yang bekerja di perusahan tersebut pada umumnya juga
hanya tinggal di Desa Telagasari dan desa-desa sekitarnya.
34
Pada tahun 2002 beberapa pengusaha mulai
mengoperasikan mesin bordir otomatis yang dikendalikan melalui
komputer. Mesin ini dapat mengerjakan pola bordir yang sama
dalam jumlah banyak sekaligus (antara 12 s.d. 24 lembar kain).
Pola dan desain juga dibuat melalui program komputer. Pada tahun
1990-an mesin semacam ini sudah pernah diperkenalkan kepada
masyarakat, tetapi ditolak oleh para pejabat desa, dengan alasan
agar tetap memberi lapangan kerja kepada masyarakat desa.
Dengan adanya mesin bordir otomatis tersebut, maka akan
mengurangi tenaga pembordir dalam jumlah banyak. Satu mesin
dapat mengurangi 12 s.d. 24 orang pekerja karena pengusaha
hanya memerlukan beberapa orang pekerja untuk mengoperasikan
komputer. Adanya mesin bordir otomatis ini juga menyebabkan
produksi kain bordir berlimpah, yang tidak diimbangi dengan
kelancaran pemasarannya. Akibatnya, harga kain bordir menjadi
jatuh. Tetapi karena tuntutan perkembangan jaman, maka
masuknya teknologi mesin bordir otomatis tidak dapat dicegah, dan
konsekuensinya adalah menimbulkan pengangguran baru dan
turunnya harga kain bordir.
2. Teknologi Pengerjaan : Pengerjaan kain bordir terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap
pembuatan desain, pembordiran, dan penjahitan. Masing-masing
tahap dilakukan oleh orang yang berbeda, sesuai dengan
spesialisasinya. Tahap pembuatan desain dilakukan secara khusus
oleh para desainer. Desainer mempunyai peranan penting bagi
perkembangan perusahaan karena setiap perusahaan harus
mempunyai ciri-ciri motif sendiri dan motif-motif tersebut harus
disukai oleh konsumen. Mereka menggambar pola-pola hiasan
pada kain dengan menggunakan pensil. Motif-motif yang banyak
digunakan adalah tumbuhan, bunga, dan geometris. Keahlian para
desainer pada umumnya diperoleh berdasarkan pengalaman, bukan
karena hasil pendidikan formal.
Tahap kedua, yaitu pembordiran, sebagian besar dilakukan
di rumah masing-masing perajin, walaupun ada pula yang dilakukan
di bengkel kerja perusahaan. Mereka yang membordir di bengkel
kerja perusahaan pada umumnya masih dalam taraf berlatih dari
35
tingkat dasar ke tingkat trampil, tetapi belum masuk tingkat mahir.
Alat-alat yang digunakan untuk membordir, antara lain:
a. Mesin bordir berpenggerak tenaga listrik
b. Opal
Bentuk opal menyerupai alat yang digunakan untuk menyulam,
yaitu sepasang kayu berbentuk lingkaran, digunakan untuk
menjepit bagian kain yang akan dibordir. Kain yang tejepit di
tengah opal akan terentang secara merata, sehingga mudah
untuk dibordir.
c. Benang-benang warna
Benang-benang tersebut dimasukkan ke dalam jarum mesin
bordir, berfungsi untuk mengisi bordiran. Setiap kali bagian yang
dibordir harus diganti warnanya, perajin harus mengganti
benang dengan warna yang diinginkan.
Para pekerja melakukan pembordiran berdasarkan desain
yang sudah digambarkan pada kain. Namun terkadang mereka juga
melakukan improvisasi-improvisasi dari desain yang dibuat oleh
para desainer.
Tahap ketiga, yaitu penjahitan. Di dalam tahap ini kain-kain
yang sudah dibordir dibentuk menjadi bermacam-macam pakaian
atau kain jadi, seperti: mukena, baju koko, busana muslimah, taplak
meja, kebaya, sarung bantal, peci, dan lain-lain.
Bahan dasar kain bordir di samping diperoleh dari
Tasikmalaya sendiri, sebagian besar justru diperoleh dari kota-kota
lain, seperti: Bandung, Jepara, dan Pekalongan. Untuk memperoleh
kain dasar dan benang warna yang diinginkan, biasanya pengusaha
yang datang sendiri ke kota-kota tersebut.
Hal yang menarik adalah, sebagian besar tenaga pembordir
justru kaum laki-laki, terutama para pemuda. Hal ini mungkin
dikarenakan kerajinan kain bordir merupakan lapangan kerja yang
cukup menjanjikan, sehingga banyak kaum laki-laki yang tidak
terserap di lapangan pekerjaan lain memilih bekerja sebagai
pembordir. Sedangkan kaum wanita sudah banyak terserap ke
industri kerajinan lainnya, seperti anyaman mendong, kelom geulis,
payung kertas, dan lain-lain. Tenaga pembordir mendapat upah
rata-rata Rp 35.000,00 per hari, dengan jam kerja dari pukul 7.00
s.d. 16.00. Dahulu ketika masih menggunakan mesin bordir manual
(digerakkan dengan tenaga kaki), para pembordir didominasi oleh
36
kaum perempuan. Menurut keterangan salah seorang pengusaha,
ketika masih menggunakan mesin bordir manual hasil produksinya
memang sangat terbatas, tetapi kualitasnya sangat baik.
Sebaliknya, ketika sudah menggunakan mesin bordir listrik,
produksinya sangat banyak, tetapi kualitasnya menjadi kurang baik.
Pembordir lepas digaji dengan sistem borongan, seberapa
banyak bordiran yang ia dapatkan, maka sejumlah itu pula yang
dibayar oleh pengusaha. Jumlah tenaga pembordir juga bersifat
musiman. Pada musim ramai order tenaga pembordir meningkat,
tetapi berkurang pada musim sepi order. Musim ramai order bagi
pembordir terjadi menjelang Bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri,
hingga Hari Raya Idul Adha.
3. Pemasaran : Pengusaha bordir pada umumnya mempunyai sejumlah
perajin, yang terdiri dari pembuat desain, pembordir, dan penjahit.
Pembuat desain bertugas membuat pola-pola hiasan pada kain
yang akan dibordir. Kemudian kain-kain yang telah diberi pola
tersebut diserahkan kepada pembordir untuk dibordir dengan mesin.
Hasil bordiran ada yang dijual sebagai kain bahan pakaian, ada pula
yang langsung dijahit menjadi pakaian jadi atau kain jadi, misalnya
sarung bantal, taplak meja, seprei, korden, dan lain-lain. Tiap-tiap
pembuat desain senantiasa berinovasi untuk membuat desain-
desain baru agar dapat memenuhi tuntutan konsumen.
Baik pembuat desain, pembordir, maupun penjahit pada
umumnya adalah pekerja lepas, yaitu: mereka tidak bekerja di
bengkel kerja pengusaha, tetapi mengambil sejumlah kain untuk
dikerjakan di rumah dan setelah selesai diserahkan kepada
pengusaha bordir. Dalam hal ini upah yang diterima adalah upah
borongan, yaitu dihitung berdasarkan panjang kain yang dihasilkan.
Pihak pengusaha hanya meminjamkan perangkat mesin bordir
kepada para pembordir dan mesin jahit kepada penjahit. Untuk
pengusaha kain bordir yang cukup berhasil dan mempunyai ruang
pamer (show room) di tempat usahanya, mereka juga
mempekerjakan pegawai untuk melayani pembeli dan pemesan
yang datang ke ruang pamer tersebut.
Untuk penyediaan bahan baku berupa kain dan benang
bordir, para pengusaha memperolehnya dari pabrik-pabrik dari kota-
37
kota lain, seperti: Bandung, Jepara, dan Pekalongan. Hampir semua
kain yang digunakan adalah produk lokal, boleh dikatakan hanya
sedikit bahan baku kain yang diimpor dari negara lain. Dengan
demikian anggapan bahwa bahan baku kain harus diimpor dari
negara lain, seperti yang diduga oleh kebanyakan masyarakat, tidak
sepenuhnya benar.
Dalam upaya memasarkan hasil produksinya, para
pengusaha dapat mendistribusikan sendiri. Kebanyakan di antara
mereka menjualnya ke sentra-sentra kain di Jakarta, seperti Pasar
Tanah Abang dan Cipulir, setidak-tidaknya dua kali seminggu, yaitu
pada hari Senin dan Kamis. Namun bagi pengusaha yang sudah
mempunyai nama, seperti Air Tanjung, Turatex, Haryati, Ciwulan,
dan lain-lain, mereka tidak perlu memasarkan sendiri ke kota-kota
lain karena pemesan datang dengan sendirinya. Sebagian besar
kain bordir mereka diborong oleh para distributor, yang kemudian
menjualnya ke kota-kota lain. Distributor juga bertindak sebagai
agen pengekspor kain bordir ke negara-negara lain. Pada umumnya
negara-negara yang menjadi target pemasaran adalah yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti: Malaysia, Arab
Saudi, Brunei Darusallam, dan Yordania. Hal ini tidak
mengherankan, mengingat kain bordir yang sudah jadi pada
umumnya adalah pakaian muslim, seperti mukena, baju koko,
rukuh, jilbab, dan lain-lain. Permintaan kain bordir juga meningkat
menjelang perayaan hari-hari besar umat Islam, seperti Idul Fitri dan
Idul Adha. Sebaliknya, ketika pada bulan-bulan sepi, pengusaha
secara aktif mencari rekanan-rekanan yang membutuhkan jasa
bordir pakaian agar penghidupan para perajin tetap dapat berjalan.
Banyaknya jumlah pengusaha kain bordir di Tasikmalaya
menyebabkan mereka mendirikan organisasi GAPEBTA (Gabungan
Pengusaha Bordir Tasikmalaya). Organisasi ini bertujuan membantu
anggotanya mencari strategi agar tercipta jaringan pemasaran
produk kain bordir. Di samping itu juga membantu permodalan bagi
anggotanya. Dapat dikatakan bahwa sejarah berdirinya GAPEBTA
adalah adanya kepentingan bersama untuk mendistribusikan hasil
kerajinan kain bordir ke konsumen.
Wujud kegiatan GAPEBTA, antara lain telah berhasil
mencarikan kios-kios untuk berjualan di berbagai kota besar,
seperti: Jakarta, Bandung, Solo, dan Yogyakarta. Khusus untuk
Jakarta, kios-kios pengusaha dari Tasikmalaya dapat dengan
38
mudah ditemui di Pasar Tanah Abang. Mereka yang membeli kios-
kios di kota-kota besar tersebut meminjam modal dari GAPEBTA
dan mengangsurnya kembali dalam jangka waktu tertentu. Pada
saat ini GAPEBTA telah memiliki anggota sekitar 800 pengusaha
kain bordir, dan setengah lebih di antaranya sudah memiliki kios-
kios pemasaran di berbagai kota besar.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kain bordir
Tasikmalaya diekspor ke negara-negara Asia Tenggara maupun
Timur Tengah, seperti: Malaysia, Arab, Brunei Darussalam, dan
Yordania. Pengusaha tidak melakukan ekspor sendiri, melainkan
menggunakan jasa distributor. Mereka yang mengambil kain bordir
dari pengusaha, kemudian menjualnya ke negara-negara tujuan.
Pesanan biasanya mulai ramai sejak tiga bulan sebelum bulan
Ramadhan dan menurun kembali setelah Hari Raya Idul Adha.
Untuk menjaga kualitas barang, apabila pesanan datang dan
mereka merasa tidak mampu untuk mengerjakan, maka pesanan
tersebut ditolak.
Untuk memenuhi omset, beberapa pengusaha bordir skala
kecil bekerja sama dengan pengusaha bordir skala besar yang telah
mempunyai merek dagang. Bila pengusaha bordir skala besar
mendapat banyak pesanan, mereka melimpahkan pesanan ke
pengusaha skala kecil untuk membantu menyelesaikan omset,
sedangkan produknya dijual dengan merek pengusaha bordir skala
besar tersebut.
Di samping pasaran luar negeri, kota-kota yang menjadi
tujuan pemasaran, antara lain: Bandung, Cianjur, Kotabumi, dan
Jakarta. Khusus untuk Kota Jakarta, mereka datang setiap hari
Senin dan Kamis.
4. Peranan Pemerintah : Pemerintah Kota Tasikmalaya mempunyai visi dan misi yang
sangat menunjang kegiatan kewirausahaan masyarakatnya. Misi
dari Kota Tasikmalaya, seperti yang termaktub dalam Perda No.2
tahun 2003, menyebutkan bahwa ”Dengan berlandaskan Imam dan
Taqwa, Kota Tasikmalaya menjadi pusat perdagangan dan industri
termaju di Priangan Timur tahun 2012”. Sedangkan
misi dari Kota
Tasikmalaya adalah sebagai berikut (Brosur Dinas Perindustrian
39
dan Perdagangan Kota Tasikmalaya, Bidang Pengembangan
Penanaman Modal, Tahun Anggaran 2006, hlm. 2).
a. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan
bertaqwa.
b. Menigkatkan kesadaran hukum dan menegakkan supremasi
hukum.
c. Menumbuhkan kekuatan ekonomi kota.
d. Menciptakan pemerintah yang profesional dan bersih.
e. Mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah.
f. Mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup secara
berkelanjutan.
g. Mengoptimalkan dan membangun sarana dan prasarana kota.
Visi dan misi Kota Tasikmalaya di bidang kewirausahaan
tersebut diturunkan melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Adapun visi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Tasik
malaya adalah: “Industri dan perdagangan menjadi penggerak
utama (prime mover) pembangunan ekonomi Kota Tasikmalaya
mempunyai daya saing tinggi di wilayah Priangan Timur Tahun
2012”.
Sedangkan misi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Tasikmalaya adalah (Brosur Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Tasikmalaya, Bidang Pengembangan
Penanaman Modal, tahun anggaran 2006, hlm. 4).
a. Meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia,
baik sumber daya manusia aparatur maupun para
pengusaha/perajin.
b. Menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui pelayanan prima
kepada masyarakat dan dunia usaha yang transparan dan
akuntabel.
c. Mengembangkan pasar dalam negeri dan sistem distribusi yang
efektif dan efisien serta membudayakan penggunaan produk
dalam negeri.
d. Meningkatkan dan mengembangkan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang dapat menjamin hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
40
e. Meningkatkan dan mengembangkan keterkaitan antara sektor
industri dan perdagangan dengan sektor ekonomi lainnya.
f. Mengembangkan industri dan perdagangan yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan.
g. Meningkatkan penyediaan informasi yang lengkap, benar,
mutakhir, secara profesional, serta mampu memenuhi tuntutan
masyarakat dan dunia usaha.
h. Mengembangkan ekspor non migas Kota Tasikmalaya.
Peranan pemerintah daerah terhadap pengusaha kain
bordir, antara lain dengan memperkenalkan stake holder dari
negara lain ke bengkel kerja para pengusaha, mengikutsertakan
pengusaha kain bordir di dalam pameran-pameran kerajinan rakyat,
mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat yang
berminat menekuni kerajinan kain bordir, dan memberikan pinjaman
bunga ringan kepada para pengusaha. Namun mengingat
banyaknya jumlah pengusaha kain bordir, belum semuanya
memperoleh fasilitas yang diberikan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah juga membuat kebijakan strategi
pengembangan bagi pengusaha kain bordir. Hal ini dikarenakan
faktor eksternal yang mempengaruhi bidang usaha bordir cukup
besar. Maka dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan
usaha bordir, sedapat mungkin meminimalisasi pengaruh faktor-
faktor eksternal dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Orientasi pasar bordir harus tetap berorientasi ekspor. Kalau
mungkin mencari peluang-peluang baru ekspor. Antara lain
dengan mengikuti pameran-pameran di luar negeri melalui
koperasi setempat.
b. Peningkatan keterampilan perajin dengan arahan pada
peningkatan mutu dan desain produk yang lebih variatif,
sehingga produk yang dihasilkan dapat memikat konsumen.
Antara lain dengan memperkenalkan desain-desain dari luar
negeri agar dapat dikembangkan oleh para perajin.
c. Adopsi inovasi teknologi baru yang dapat meningkatkan
penggunaan komponen lokal serta efisiensi proses produksi
yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing produk di
pasar.
41
d. Penataan kelembagaan kemitraan antara pemilik modal dengan
perajin. Sehingga kedua belah pihak memiliki keseimbangan
yang proporsional dalam perolehan pendapatan dan resiko.
Dalam rangka menyediakan sumber daya manusia yang
handal dalam membordir, Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Tasikmalaya dan BUMN juga menjalin kerjasama dengan
pihak swasta. Pihak Dinas menyediakan dana, sementara pihak
swasta bertanggung jawab mendidik dan melatih tenaga kerja agar
siap terjun ke usaha bordir. Salah satu pihak swasta yang ditunjuk
oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya untuk
menjalankan diklat adalah C.V. Dewi Nugraha, yang berlokasi di Jl.
Panunggal no. 63, Tasikmalaya. CV ini memberikan pelatihan
selama tiga bulan. Dalam satu tahun CV ini mampu
menyelenggarakan tiga kali pelatihan. Setiap angkatan pelatihan
mampu menghimpun siswa sekitar 75 orang. Di samping diberi
pelatihan, setiap siswa juga mendapat uang saku sebanyak Rp
30.000,- per hari. Selama tiga bulan pelatihan, siswa dididik melalui
tiga tingkatan, yaitu: tingkat dasar, tingkat terampil, dan tingkat
mahir. Para siswa yang lulus biasanya sudah siap ditampung oleh
perusahaan-perusahaan kain bordir yang membutuhkannya.
Sebaliknya, perusahaan kain bordir yang membutuhkan tenaga
kerja hanya tinggal menghubungi CV tersebut.
5. Permasalahan : Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para
perajin kain bordir, antara lain.
a. Beberapa perajin mengkhawatirkan adanya mesin-mesin bordir
otomatis yang dioperasionalkan dengan komputer. Adanya
komputerisasi kain bordir menyebabkan kebutuhan akan tenaga
pembuat desain dan pembordir berkurang. Hal ini akan
mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran. Di samping
itu, banyaknya produk yang dihasilkan dari mesin yang
dioperasikan dengan komputer menyebabkan harga
produksinya jatuh di pasaran.
b. Belum semua pengusaha bordir di Tasikmalaya bergabung
dalam GAPEBTA karena alasan-alasan tertentu, seperti kurang
modal, belum merasakan manfaatnya, dan lain-lain.
42
c. Belum semuanya pengusaha dan perajin kain bordir
memperoleh fasilitas yang diberikan pemerintah daerah
Sumber artikel diatas adalah dari hasil penelitian yang disimpan di www.budpar.go.id/userfiles/file/5201_1445-4_INDUSTRIBUDAYA1OKE.pdf
Photo-photo ditambahkan hanya untuk mempercantik artikel ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar